Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja. Ya… Dengan bermodalkan uang hasil menggadaikan motor sahabatku sebagai syarat untuk ‘memuluskan’ jalanku masuk ke Perusahaan ini. Dan tanpa banyak melalui proses formil, akupun akhirnya diterima bekerja di sebuah Perusahaan yang cukup terkenal di kota ini. Perusahaan ‘kandang macan’ kalau orang di lingkungan sini menyebutnya. Ah…tapi biasa saja menurutku. Apa karena aku seorang laki-laki? Dan disini mayoritas karyawannya adalah perempuan. I don’t care. Yang terpenting sekarang adalah aku bisa kerja dulu, masalah betah atau tidak itu urusan nanti daripada aku terus-terusan jadi sales kompor gas hasil dari aku melihat kemudian tergiur dengan iklan lowongan “DIBUTUHKAN 1000 KARYAWAN, PENDIDIKAN TIDAK DI UTAMAKAN” dari sebuah koran yang aku temukan di jok bus antar kota saat aku masih mengikuti seleksi CPNS yang akhirnya berakhir tragis alias gagal. Menurutku, mencari pekerjaan sebenarnya tidak terlalu sulit, tergantung suasana hati kita setelah kita berhasil diterima bekerja di suatu tempat. Mau bertahan atau tidak dengan segala bentuk ketidak sepahaman pola pikir dan pola hidup, entah di lokasi kerja maupun di lingkungan tempat tinggal kita yang sementara di perantauan itu.
Akhirnya aku di posisikan sebagai pengangkut barang di Perusahaan ini. Mungkin karena faktor ijazahku yang hanya seorang lulusan SMA swasta. Atau karena memang badanku yang lumayan tinggi besar walau tidak sebesar atlet tinju kelas berat dunia yang sering tampil tiviwan.
Lumayan juga rasanya jadi tukang angkut barang. Memang beban barang yang aku angkut dari tempat produksi ke gudang tidak seberapa beratnya. Tapi karena aku melakukannya terus-menerus selama jam kerja, sehingga hal ini membuat kakiku sedikit agak kewalahan. Maklumlah aku orang baru yang belum terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Tapi lagi-lagi demi cita-cita, aku harus kuat. Apalagi aku adalah seorang laki-laki. Gak boleh cengeng apalagi menangis. Malu sama kucing meong…meong…meong.
Bertemu dengan orang-orang baru yang tentu juga sangat asing bagiku, aku harus pandai-pandai menjaga sikap dan lisanku agar tidak menjadi masalah buat diriku sendiri. Karena disini, satu-satunya tempatku mengadu hanyalah si Rudi sahabatku. Ya, kami berdua memang satu perusahaan. Tapi berbeda jenis pekerjaan dan lokasi. Dan dialah yang mengantarku sampai berada di tempat ini, di tempat kerja yang menurutku layak untuk mendapatkan Piala dari Menteri Tenaga Kerja kategori Perusahaan SNI. Aku bisa menyimpulkan hal itu karena selain aku membacanya sendiri di Perjanjian Kerja Bersama, aku juga sudah melihat sendiri apa saja fasiltas yang ada di sini.
Rasa-rasanya gimana gitu… Berada di suatu tempat yang baru. Apalagi perbandingan karyawan laki-laki dan perempuan disini sangat jauh sekali. Hampir 80:20 untuk mayoritas jumlah karyawan perempuan. Ah…bodo amat ! Toh tujuan utamaku disini adalah bekerja untuk mewujudkan segala angan-anganku. Salah satunya adalah membeli gitar impianku. Walau aku bukanlah seorang gitaris yang berbahaya, tapi banyak temanku dikampung bilang kalau aku punya bakat, walaupun bakatku itu terbilang tanggung.
Aku tinggal bersama Rudi disebuah kos-kosan yang lokasinya lumayan dekat dari Perusahaan tempat kami bekerja. Tidak perlu naik angkutan untuk menuju ke tempat kerja. Cukup jalan kaki saja. Itung-itung sekalian olahraga. Biasanya sih Rudi naik motor. Tapi berhubung motornya masih ‘sekolah’ terpaksa kita berdua sementara waktu ini jalan kaki dulu. Dan Rudi adalah sahabat terbaikku untuk saat ini. Dia mempunyai hobi bernyanyi, tapi tidak bisa bermain gitar. Ya, kadang dia membawa gitar hasil pinjam dari kawannya disekitar sini. Maklum, dia sudah senior di daerah sini. Yang punya kawasan intinya. Jadi soal gitar mah gampang ngelobinya. Kalau urusan makan sehari-hari aku dan Rudi masak beras di mejikom. Tapi lauknya kami membeli di warteg depan kos-kosan karena memang kami tidak pandai memasak. Ada kompor gas dan alat masak lainnya, tapi hanya kami pergunakan sekedar untuk menggoreng telur atau merebus mie instan saja.
Minggu pagi itu, masih pulas kurasakan tidurku di teras kos-kosan bersama Rudi sisa begadang tadi malam. Ya kita memang jomblo. Bukan karena kita tidak laku. Kita berdua hanya menjaga mutu. Percayalah, kami berdua adalah cowok keren dengan sejumlah aset yang terbilang langka. Yaitu kami berdua memiliki hati yang selembut sutra yang tidak dimiliki oleh cowok lain manapun di dunia ini. Dan memang hari ini libur karena hari minggu, jadi tadi malam kami berdua sengaja memuaskan diri dengan begadang dan bernyanyi sambil main gitar sampai dini hari tadi.
Tapi entah mengapa di dalam tidur minggu pagiku itu, ada bisikan yang seolah-olah menuntunku untuk membuka mataku di hari minggu yang masih sepagi itu. Suara asing yang belum pernah kudengar sebelumnya dalam hidupku. Suara yang ‘guwe banget’. Lembut. Seolah semua karakter suara wanita idamanku menyatu disitu. Dan setelah perlahan aku membuka mata, sesosok wanita berkacamata minus dengan baby doll bermotif Doraemon sudah berada di depanku. Rambutnya lurus enggak…Keriting juga enggak… Ditambah kombinasi jidat yang menurutku agak sedikit jenong. Kulitnya lebih terang dari kulitku yang memang berwarna coklat tua cenderung ke hitam. Bau parfumnya… Beuuuuhhhh !!! Aku terdiam sesaat, memandang wajahnya yang aku yakin kalau dia sebenarnya belum mandi tapi tetap ‘guwe banget’ kecantiknya.
“Mas… aku boleh pinjam sandalnya sebentar nggak?” tanya wanita itu. “E..iyah…boleh. Emang mau kemana mbak?” tanyaku dengan segenap perasaan antara aku masih tidur apa sudah terbangun. “Mau ke warteg depan sebentar” jawabnya. “Memangnya sandal mbaknya kemana?” tanyaku dengan gestur tangan sambil mengusap tahi mata kuning yang masih terasa menempel di pelupuk mataku secara perlahan. “Gak tahu mas, paling si Ella iseng”. Dalam hatiku berkata cepat “Heh.. lu aja guwa kagak tahu namanya…apalagi si Ella”.
Aku duduk sambil terus mengamati langkah sosok wanita dengan kaki mungil beralaskan sandal Sewalow berwarna putih hijau yang over size. Iiihhhh….lucu bangettt. Layaknya di film-film, dia pun menoleh ke arahku disertai senyuman seolah memberi harapan dengan ayunan rambut hitamnya yang perlahan di tiup angin minggu pagi yang tidak lagi kelam. “Uwhhhhhhhh…” batinku sambil menghela napas.
Rasa kantukku kembali datang karena wanita yang ‘guwe banget’ tadi tak kunjung kembali dengan sandal Sewalow size 10 1/2 milikku. Akhirnya akupun kembali melanjutkan tidur dengan menimpakkan kaki kananku ke arah badan Rudi di teras kamar kos.
Tapi setelah beberapa saat aku tertidur, aku kembali di kejutkan oleh suara berisik dari atap kos-kosan. Suara hujan. Mau tidak mau aku harus bangun dan pindah kedalam kamar kos. Perlahan aku bangunkan Rudi bahwa hari telah hujan. Tapi sekilas di lantai keramik aku melihat ada nampan dengan 2 gelas berisi cairan berwarna coklat dan satu piring gorengan lengkap dengan cabe ijo muda. “Gak rugi Lo jadi murid guwa” celetuk Rudi. “Enak aja…bukan guwa yang beli keles !” sahutku sambil melihat Rudi yang asyik memakan tahu isi. “Trus siapa yang beli ini kalau bukan elu?” jawab Rudi sekaligus bertanya padaku. “Mana kutahu, memangnya aku Tuhan yang tahu segalanya” jawabku sambil menghindari lemparan cabe ijo muda dari Rudi ke arah wajah gantengku.
Perbincangan kami akhiri dengan membereskan segala sesuatu kedalam kos karena kurasa hujan semakin deras saja. Kulihat sandal Sewalowku sudah berada di depan teras kos. Kuyakinkan hatiku bahwa yang membawa nampan berisi dua gelas kopi Gudai dan sepiring gorengan lengkap dengan cabe ijo muda adalah wanita yang ‘guwe banget’ tadi.
Lamunanku terselip diantara bunyi hujan yang terus menerjang atap kos-kosan yang terbuat dari Seng. Mataku semakin sulit untuk kepejamkan. Wajah itu membuat aku seperti ada diantara suara gelombang laut yang lokasi lautnya berada ada di atas awan. Semakin kupejamkan mata, semakin aku tak bisa menahan senyumku sendiri. “Dasar wong edan, merem kok ketawa” suara Rudi memporak-porandakan bangunan istana lamunanku tentang sosok wanita dengan babby doll Doraemon berkacamata minus tadi. Tak kuhiraukan omongan Rudi karena aku berusaha membangun lagi istana lamunanku yang telah hancur tadi.
Hari ini senin. Hari dimana kesibukan tiba-tiba menjadi berlipat dimana-mana. Terutama di lingkungan kerjaku. Aku juga heran, kenapa cuma hari senin saja yang tiba-tiba berubah menjadi horor. Ah…itu gak penting. Yang penting aku tidak telat masuk kerja. Dan seperti biasa, setiap hari sebelum bekerja, di setiap Team di perusahaan ini pasti mengadakan Briefing. Sekedar mengakrabkan suasana dan yang terutama sekali menurutku adalah berdo’a bersama sebelum bekerja.
Di sela-sela supervisorku memberikan arahan dan spirit paginya, aku di kejutkan oleh sesosok wanita yang melintas dengan langkah yang sepertinya tergesa-gesa sekali. Ya…di balik punggung supervisorku aku melihat dengan jelas wajah itu. Wajah yang kemarin dengan baby doll Doraemon serta kacamata minusnya. Wajah dengan jidat jenong. Kupastikan aku tak kehilangan langkahnya. Langkah dimana dia terakhir berhenti. Tapi sayang, aku kehilangan langkah itu. “Ah…kemana tadi beloknya” batinku dengan sedikit menahan kecewa.
Belum berani aku bertanya kepada teman kerjaku tentang sosok wanita yang ‘guwe banget’ itu. Selain aku anak baru, siapa tahu ada dari salah satu teman kerjaku yang juga naksir sama dia. Aku memilih menunggu moment saja. Dan aku berpikir “pasti dia besok lewat sini lagi”.
Ku usap keringat di keningku dengan baju kerjaku. Karena aku memang tak suka ribet membawa sapu tangan dan sejenisnya. Rasa haus membawaku ke arah Torn stainless berkapasitas 1000L tempat menampung air minum untuk karyawan yang memang telah sediakan oleh perusahaan. Ku isi botol bekas air mineral yang kubawa melalui kran Torn itu. Dan kutuntaskan dahagaku di situ. “Ahhh…lega rasanya”. Ku balikkan badanku hendak menuju dimana barang-barang hasil produksi Perusahaan sudah menunggu untuk ku angkut ke gudang. Tapi tatapan mata itu membuatku lumpuh seketika. Tatapan mata dari si Jenong berkacamata minus dengan baby doll Doraemon kemarin pagi. “Eh…kamu kerja di sini juga ya?” tanya Jenong kepadaku yang semakin merasa lumpuh saja dibuatnya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku amnesia. Aku lumpuh maximal. Sampai aku sadar bahwa Si Jenong yang berkacamata minus sudah tidak ada lagi di depanku. Aku bertanya pada diriku sendiri sambil menyandarkan badanku di Torn stainless yang menjadi saksi bisu pada hari itu. “Apakah aku jatuh cinta?”
Jam makan siang aku habiskan dengan mencari si Jenong berkacamata minus di antara ratusan karyawan lain di Perusahaan ini. Tapi usahaku gagal sampai aku lupa kalau ternyata sudah masuk jam kerja lagi dan aku belum sempat makan siang. Tapi bayangan si Jenong di otakku telah membuat aku kenyang dengan sendirinya.
Jam pulang akhirnya tiba. Ingin rasanya aku tetap berada di dalam gedung Perusahaan ini. Berada dalam satu masa bersama Jenong. Akupun berpamitan pulang kepada rekan-rekan kerjaku. Aku tak langsung pulang. Ruangan demi ruangan aku lewati, berharap Jenong dapat kutemui. Tapi usahaku gagal lagi. Aku pulang ke kos-kosan dengan perasaan campur aduk. Capek tapi tidak terasa, kecewa tapi biasa saja. Karena AKU SEDANG JATUH CINTA untuk yang pertama kalinya.
Seminggu ini aku belum pernah bertemu Jenong lagi. Dan sengaja hari sabtu ini aku bangun pagi-pagi sekali. Selain memang hari libur, hari sabtu ini tidak ada tugas dari Boss untuk aku berangkat lembur. Jadi dua hari ini, sabtu dan minggu aku free.
Aku Stand By di warteg dengan modus sarapan sambil nonton Tivi berharap Jenong juga akan datang ke warteg. “Mau makan apa Ella?” tanya abang warteg pada wanita yang baru datang ke warteg. “Bungkus 2 ya bang, biasa” sahut wanita itu. “Si Yasmin kemana kok gak ikut?” tanya abang warteg lagi. “Lagi sibuk main gitar, padahal bisa juga enggak. Adeknya minta di beliin gitar. Tapi sudah seminggu ini gitarnya tidak di ambil” jelas wanita itu pada abang warteg.
Ingatanku kukembalikan ke seminggu yang lalu. Waktu dimana Jenong meyebut nama Ella yang iseng kepadanya sampai dia harus meminjam sandal kepadaku. Akupun menemukan jawabanku sendiri, si Jenong sebenarnya bernama Yasmin dan Ella adalah sahabat satu kosnya. Ya, itulah kesimpulanku.
“Rud, malam minggu keluar yuk ! Cari angin” tanyaku pada Rudi yang masih tiduran. “Males, mendingan nanti malam gitaran aja. Aku lagi pengen nyanyi, soalnya sebentar lagi aku mau ikut audisi nyanyi” jawaban Rudi mengecewanku. Tapi oke gakpapa. Aku habiskan hari sabtuku ini dengan tidur, sementara Rudi keluar pergi mencari pinjaman gitar yang bagus karena minggu lalu aku komplain, suara gitar pinjaman Rudi tidak SNI.
Kumasak air dalam Teko elemen untuk membuat kopi sebagai teman pengantar ‘konser’ duo gitaran kami berdua malam minggu ini. Rudi berhasil membawa pulang gitar mahal, suara gitarnya ‘guwe banget’. Kopi sudah jadi. Keripik singkong sudah ada. Dan kami berduapun akhirnya memulai ‘konser’.
“Mas…boleh gabung gak?”. Suara itu sejenak mengheningkan suasana. Suara Jenong di dampingi Ella yang tiba-tiba saja sudah berada di depan teras kamar kos-ku. Jenong yang mengisi ruang imajinasiku selama seminggu ini. “Oh…ya… boleh. Tapi ya kayak gini-gini aja” jawabku setelah beberapa saat asyik menikmati imajinasiku sendiri. Ada moment dimana kami berempat tiba-tiba menjadi akrab dalam hitungan menit. Apa karena perasaanku saja? I don’t care !!!
“Mas…besok ada acara gak?” tanya Jenong. “E… kamu nanya saya atau siapa?” sahut Rudi yang sedikit lebih cepat sepersekian detik menjawab dari aku, karena sebenarnya aku yang ingin sekali menjawab pertanyaan itu. “Mas siapa ajalah yang penting bisa ngajarin saya main gitar” jelas Jenong. “Kalau belajar vocal ama saya, tapi kalau belajar gitar, ya sama mas ini tentunya” jawab Rudi sambil menunjuk ke arahku. “Mas… bisa gak besok ngajarin saya main gitar?” tanya Jenong kepadaku. “I…iya” jawabku singkat tapi penuh dengan formasi & kombinasi segala rasa ruwet yang ada di dunia ini.
“Udah malem mas… saya pulang dulu, besok siang saya kesini lagi” pamit Jenong kepada kami sembari mengajak Ella untuk pulang ke kos mereka yang sebenarnya tidak jauh jaraknya dari kosanku. Sementara aku dan Rudi terus bersenandung sampai dini hari lagi.
Minggu siang itu aku terbangun dengan pemandangan seorang wanita dihadapanku sedang melipat baju yang ku jemur kemarin. Kulihat ruangan kamarku juga sudah tertata dengan rapi. Dan semalam Jenong memang berkata kalau dia akan kesini untuk belajar bermain gitar padaku.
Rudi entah kemana. Karena di dalam kamar kos tak kulihat lagi gitar yang semalam aku mainkan dengannya. Yang ada adalah gitar Jenong yang dia beli untuk adiknya. Akhirnya aku dan Jenong mulai berkenalan secara resmi, siapa nama kami, hobi kami apa, apa makanan favorit kami dan banyak hal yang tiba-tiba dengan enteng kami ceritakan semuanya. Hanya sedikit persamaan kami. Dan ada satu persamaan yang membuat kami lebih yakin untuk terus saling menyayangi satu sama lain yaitu ‘CINTA PERTAMA’.
Sulit memang menjelaskan bagaimana artinya cinta. Logika saja sudah tidak berguna, apalagi cuma mengira-ngira. Di antara kami berdua, kami tahu, kalau sebenarnya kami berdua itu saling mencintai. Tapi itu hanyalah kalimat yang di ucapkan oleh hati kami saja. Bibir kami berdua tidak pernah mampu berbuat apapun untuk menjelaskannya.
Sejak pertemuan hari minggu itu, pertemuan yang tidak pernah ada pelajaran bermain gitarnya sama sekali. Pertemuan yang tiba-tiba siang hari berubah menjadi malam dengan begitu sangat cepatnya. Pertemuan yang membuatku menyesal seumur hidupku. Dan sekaligus membuatku sadar bahwa aku harus tetap hidup dengan segala kemampuanku agar aku bisa membahagiakan ibuku, dua adik perempuanku serta membahagiakan siapapun nanti yang menjadi jodohku.
Pernah dulu pada suatu waktu, Perusahaan kami mengadakan Tour bersama. Rudi tidak ikut dalam acara ini. Dia lebih memilih pulang kampung karena memang dia sudah sering pergi ke tempat tujuan wisata kali ini. Aku dan jenong tidak berada dalam satu Bus yang sama pada waktu berangkat, karena kami memang tidak satu Divisi. Yang aku khawatirkan adalah, walaupun sudah dewasa, dia itu masih suka mabuk kendaraan. Aku masih ingat betul dulu di sebuah Bus sewaktu perjalanan kerumahku, topi kesayangku menjadi korban tumpahan isi perutnya. “Ah… Ada si Ella ini” pikirku.
Bus yang kami kendarai sudah mulai berhenti dan parkir, pertanda kami sudah sampai tempat tujuan wisata. Aku tidak tergesa-gesa turun seperti kawan-kawan lain yang berdesak-desakan berebut agar bisa turun dari Bus duluan. Aku membuka Softcase gitarku, dan perlahan senar demi senar kuperbaiki steman gitar yang di belikan Jenong di hari ulang tahunku dua minggu yang lalu.
“Ayo turun… Ombaknya bagus banget” kudengar karakter suara yang 99,99% tak mungkin salah aku menebaknya. “Iya…bentar” sahutku sambil terus fokus pada steman gitarku.
Aku merasa berada dalam suasana yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya dalam hidupku. Suasana yang benar-benar membuatku ingin sekali rasanya aku membangun rumah disini. Membangun rumah bersama Jenong dan anak-anak kami nanti.
Jenong asyik berfoto dan bermain ombak bersama teman-teman kerja yang lain. Sementara aku jadi sasaran kerumunan sekumpulan kaum jomblo. Sekumpulan kaum jomblo yang selalu minta untuk aku memainkan lagu galau yang itu-itu terus.
Senja mulai nampak. Dari arah belakang Jenong, aku melangkah pelan menghampiri Jenong yang sedang sibuk bermain pasir. Kulihat dia menulis sesuatu di atas pasir di bibir pantai. Namaku dan namanya disertai lambang hati terukir disitu. Tapi kemudian hilang seketika tatkala arus sang ombak lewat menyapunya. Tapi jenong tak putus asa. Di ukirnya lagi namaku dan namanya di atas pasir yang sama. Saat dia sadar aku memperhatikannya, wajah cantiknya berubah layaknya ingin berkata, “ini tak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelaskan”. Kemudian aku pergi meninggalkan Jenong sambil menenteng Softcase gitarku. Ada hal yang ingin aku sampaikan padanya, dan itu tak mungkin aku katakan karena memang ini bukanlah waktunya.
Di atas batu karang aku berdiri menatap jauh ke arah kampung halamanku. Di pikiranku, sekiranya sedang apakah ibu dan dua adik perempuanku.
Lamunanku terhenti seketika tatkala dua tangan lembut memeluk erat pinggangku dari belakang. Kudengar lirih isakan tangis tulus dari bibir yang wajahnya telah menyandar di punggungku.
“Aku tak mau kamu mengukir nama kita di manapun. Termasuk di atas pasir pantai yang romantis sekalipun. Aku melihatnya sendiri. Sekeras dan sekuat apapun perjuanganmu mengukirnya, ukiran itu pasti akan hilang di terjang ombak. Cukuplah di hatimu saja kau ukir nama kita” ucapku setelah aku berbalik badan sembari telapak tangan kiriku menyentuh lembut ke pipi kanan Jenong. Sementara tangan kananku berusaha mengusap air mata yang terus mengalir dari kedua mata yang ternyata terlihat begitu indah tanpa di batasi oleh kacamata. Dan Air mata kami berduapun mengalir bersama dengan hati kami yang berkata “AKU MENYAYANGIMU SELAMANYA”.
Dan aku pernah membawa Jenong kerumahku sewaktu dulu ayah meninggalkan aku, ibu dan kedua adik perempuanku untuk selamanya. Dan dia rela mengorbankan beberapa hari cutinya untukku.
Jenong mencintaiku dengan segala kekuranganku. Aku yang ternyata harus menjadi tulang punggung keluarga pada usiaku yang masih 20 tahun.
Aku tahu Jenong mencintaiku dari sikapnya. Dari cerita Ella teman dekatnya agar aku segera menembak dan menyatakan cinta padanya. Dari Diary Jenong yang aku baca sewaktu aku menemaninya di rumah sakit. Dan dia sakit beberapa hari akibat terbawa beban pikirannya sendiri sewaktu dia melihat aku menenggak minuman keras pada saat aku depresi karena belum bisa menerima kenyataan bahwa ayahku sudah pergi.
Kadang aku merasa seperti Rangga di film AADC 2 yang berusaha sadar diri setelah ayahnya Cinta berbisik kepada Rangga supaya “jangan membuat Cinta menunggu terlalu lama”.
Sedangkan disisi lain aku harus berjuang mengembangkan senyum di bibir ibuku dan berjuang menyekolahkan dua adik perempuanku. Bukan karena bisikan ayah Jenong layaknya ayah Cinta membisiki Rangga aku tidak berani menembak Jenong jadi kekasihku, tapi lebih kepada karena aku takut jika nanti Jenong harus hidup menderita bersamaku ditengah perjuanganku yang belum selesai untuk membahagiakan ibu dan kedua adik perempuanku.
Walaupun aku belum pernah bertemu dengan keluarga Jenong, Jenong pernah bercerita kepadaku “kata orang tuaku, siapapun suamiku nanti, orang tuaku tidak peduli apapun pekerjaanya. Yang penting halal dan bertanggung jawab kepada keluarga kecilku nantinya”.
Aku yakin bahwa aku adalah salah satu laki-laki dengan kriteria itu, tapi di sisi lain aku masih punya tanggung jawab yang besar terhadap keluargaku. Dan aku telah berjanji pada diriku sendiri, kalau aku tidak akan menikah sebelum berhasil menyekolahkan dan menikahkan dua adik perempuanku. Karena tidak mungkin ibuku yang sudah tua harus bekerja untuk membiayai kedua adik perempuanku, aku tak sampai hati melihatnya. Biarlah cukup aku saja yang menjalani cinta pertama tapi tidak terakhir ini, asalkan ibu dan kedua adik perempuanku bahagia.
Hingga pada suatu hari saat usiaku menginjak 34 tahun, dimana aku sudah berhasil menjadi seorang pencipta lagu yang mempunyai penghasilan yang cukup lumayan walau masih naik motor second tapi aku membelinya dengan uang cash hasil jerih payahku sendiri. Dan saat ini aku juga sudah berhasil menyelesaikan tugasku sebagai kakak dari kedua adik perempuanku walaupun pada saat itu ibuku tak sempat melihat dan menikmati keberhasilanku karena beliau telah lebih dulu pergi meninggalkan kami menyusul kekasihnya di surga yaitu ayah kami.
Hari itu, ketika cuaca sangat panas oleh terik sang mentari menyengat ke sebagian permukaan bumi tetapi air hujan juga turun walau cuma sebentar. Aku melihat jenong bersama dua orang laki-laki. Yang satu sekitar seumuran anak kelas 3 SD dan satunya lagi seorang laki-laki seumuranku dengan pakaian dinas lengkap keluar dari dalam mobil berwarna merah mengkilat menuju ke sebuah minimarket. Ku ambil topi dari dalam jok motor secondku dan kupakai agak condong kebawah menutupi pandanganku. Aku beranikan diri ikut masuk ke dalam minimarket dan berada di antara Jenong dan keluarga kecilnya selama beberapa menit sampai mereka kulihat keluar minimarket dan menaiki mobil berwarna merah. Aku berlari keluar minimarket mengikuti mobil merah itu. Sampai pada akhirnya mobil merah itu menghilang di antara kendaraan lain, bersama itu pula hilang asa dan kenanganku bersama Jenong-ku. Kenangan saat pertama kali aku menatap sepasang mata indah di balik kacamata minus. Dan asa untuk hidup bersama seseorang yang dulu pernah berjanji ingin selalu saling menyayangi selamanya.
Setiap peristiwa pasti ada pesan yang sebenarnya ingin Tuhan sampaikan kepada kita. Tergantung darimana sudut pandang kita mengartikan pesan itu. Kalau dulu aku terus bersama Jenong, mungkin aku tidak bisa menjadi seorang pencipta lagu karena setiap hariku pasti aku habiskan bersama dia dan aku pasti tidak akan punya waktu untuk melamun dan berimajinasi karena Jenong selalu ada disampingku.
Ya kalau kami bahagia!!! Kalau kami menderita?
Malah aku tidak akan punya waktu lagi untuk aku menyalurkan bakatku, karena waktuku pasti akan habis untuk bekerja menghidupi Jenong, ibu dan kedua adik perempuanku.
Dan menurutku, bahagia yang sesungguhnya adalah, membiarkan orang yang kita cintai hidup bahagia meski tanpa kita sekalipun daripada harus hidup bersama kita tapi kita malah membuat orang yang kita cintai menderita. Munafik sih, tapi itulah aku. AKU, KAMU DAN CINTA PERTAMA KITA.
Writer : Tulus Maholtra Minggu 17/12/17
*)Cerita ini hanya fiktif belaka. Kalau ada kesamaan karakter itu hanya imajinasi saya saja.